Apa sih demografi itu?
Demografi berasal dari bahasa Latin, Demos dan Nomos. Demos berarti rakyat, Nomos berarti menulis. Singkatnya, demos dan nomos adalah catatan mengenai rakyat atau penduduk.
Menurut Kamus United Nations Multilingual Demographic, demografi merupakan studi ilmiah tentang kependudukan, terutama yang terkait dengan jumlah penduduk, struktur, serta perkembangannya.
Secara sederhana, kita bisa menyebut demografi sebagai studi mengenai dinamika populasi manusia yang mencakup ukuran, struktur, dan distribusi, serta bagaimana populasi berubah sepanjang waktu yang disebabkan oleh kelahiran, kematian, migrasi dan usia.
Apa gunanya demografi buat kita?
Secara pribadi, kita mungkin belum terlalu merasakan gunanya, tapi disadari atau tidak pasti akan merasakan dampaknya.
Sederhananya, bayangkan kita sedang berada di sebuah ruang tunggu praktik dokter berukuran 6 x 6 meter. Awalnya hanya kita dan lima orang lain yang menunggu. Kemudian satu per satu orang datang.
Kecepatan orang yang masuk ruang tunggu tidak sebanding dengan orang yang dipanggil masuk ke ruang periksa. Ruang yang tadinya nyaman menjadi sesak, ada yang menangis, merintih, hingga marah-marah karena antriannya terlewati. Sayangnya kita tidak tahu kalau antrian akan sepenuh itu. Seandainya tahu dari awal mungkin kita akan menyiapkan diri lebih baik, misalnya dengan berangkat lebih awal, membawa air minum, atau malah memilih ke tempat praktik dokter lainnya.
Itu contoh kecil. Nah, bagi pemerintahan (pusat maupun daerah), tentu data demografi lebih penting lagi. Data itu digunakan untuk menganalisis dan mengantisipasi dampak perkembangan kependudukan dengan berbagai aspek pembangunan sosial, ekonomi, budaya, politik, lingkungan, hingga pertahanan dan keamanan.
Apa indikator kondisi demografi sebuah negara?
Cara mengetahui kondisi demografi sebuah adalah melalui sensus penduduk. Sensus atau cacah jiwa adalah sebuah proses mendapatkan informasi deskriptif tentang anggota sebuah populasi (tidak hanya populasi manusia). Sensus dapat digunakan untuk demokrasi (Pemilu), pengumpulan pajak, maupun untuk kepentingan ekonomi lainnya.
Di Indonesia, badan yang mengurusi sensus adalah Badan Pusat Statistik atau BPS. BPS merupakan satu-satunya badan resmi yang dibentuk oleh pemerintah yang memiliki tugas sebagai surveyor data-data mengenai penduduk.
Terdapat berbagai macam sensus yang dilaksanakan oleh BPS, beberapa yang paling besar adalah Sensus Penduduk, Sensus Pertanian dan Sensus Ekonomi. Sensus Penduduk biasanya dilaksanakan pada tahun yang berakhiran angka nol atau dalam jangka waktu sepuluh tahun sekali.
Pencacahan dalam sensus penduduk dilaksanakan untuk mengumpulkan karakteristik pokok dan rinci terhadap seluruh penduduk baik yang bertempat tinggal tetap maupun yang tidak mempunyai tempat tinggal tetap (tuna wisma, anak buah kapal Indonesia, manusia/orang perahu, dan suku terasing). Karakteristik pokok dan rinci tersebut mencakup karakteristik tentang penduduk, perumahan dan lingkungannya, dan karakteristik lain yang termasuk dalam lingkup standar bidang kependudukan.
Sensus penduduk yang pernah dilakukan di Indonesia adalah pada tahun 1961, 1971, 1980, 1990, 2000, dan 2010. Sedangkan dua sensus sebelum kemerdekaan dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda, yaitu pada tahun 1920 dan 1930.
Pada sensus penduduk tahun 2010, hasilnya adalah jumlah penduduk Indonesia sebesar 237.641.326 jiwa. Dengan provinsi yang paling banyak jumlah penduduknya adalah Jawa Barat (43.053.732 jiwa), sedangkan provinsi yang paling sedikit jumlah penduduknya adalah Papua Barat (760.422 jiwa).
Istilah aslinya “demographic dividend”
Sebelum kita masuk dalam pembahasan apa dan bagaimana “bonus demografi”, ada baiknya kita perjelas dulu istilah yang akan digunakan agar kita punya pemahaman yang sama pada setiap detil informasi di buku ini.
Dalam ilmu kependudukan, terdapat beberapa parameter yang digunakan untuk menilai keadaan populasi manusia, apakah menguntungkan atau malah justru menjadi beban.
Para pakar menyebutnya dengan dependency ratio atau rasio ketergantungan, yaitu sebuah rasio untuk menggambarkan perbandingan antara jumlah penduduk usia nonproduktif (kurang dari 15 tahun dan lebih dari 65 tahun) dan penduduk usia produktif (15 hingga 65 tahun).
Sebagai contoh, angka rasio ketergantungan 86, berarti 100 orang yang berusia kerja atau roduktif menanggung sebanyak 86 orang yang belum maupun sudah tidak produktif lagi.
Idealnya, pertumbuhan ekonomi secara maksimal dapat terjadi ketika rasio ketergantungan berada di bawah angka 50. Kondisi ini juga disebut sebagai the window of opportunity (jendela kesempatan).
Lantas kenapa kita menggunakan istilah “bonus demografi”? Padahal kan ini “hanya" sebuah jendela kesempatan di mana bisa untung (demograhic devidend) dan juga bisa pula menjadi beban demografi (demographic burden).
Penggunaan kata “bonus” sebenarnya adalah upaya penyederhanaan istilah. Karena tidak semua orang familiar dengan istilah demografi, apalagi demographic devidend.
Dengan menggunakan kata “bonus”, diharapkan kita semua lebih optimis dan mampu memanfaatkan jendela kesempatan berupa banyaknya jumlah penduduk produktif sebagai mesin pertumbuhan bagi perekonomian.
Syaratnya, mental kita harus positif ketika mendengar kata “bonus”, yaitu dengan mengejarnya, bukan malah bermalas-malasan karena berpikir bonus adalah keuntungan yang pasti datang dan kita dapat nikmati tanpa jerih payah lebih. Kalau ini yang terjadi, bayangan keuntungan di depan mata bisa berubah menjadi kerugian yang dampaknya akan berlangsung selama puluhan tahun ke depan.
Apakah demografi bisa mendatangkan “bonus"?
Kita masih membicarakan soal kata “bonus”. Apakah kondisi demografi benar-benar bisa mendatangkan bonus?
Jawabnya, tentu saja bisa. Dalam literatur ilmu kependudukan, setidaknya ada dua jenis “bonus demografi”, yaitu yang bersifat sementara maupun permanen.
Untuk jenis yang pertama, ini akan dialami saat “jendela kesempatan” terbuka. Disebut jendela karena sifatnya yang memang terbatas. Pergerakan struktur umur yang dinamis menyebabkan bonus demografi hanya terjadi pada satu periode tertentu dan akan berlalu setelah itu.
Karena itulah sifatnya disebut “bonus”, yaitu apabila suatu negara tidak dapat memanfaatkannya pada periode yang tepat, maka harus bersiap menghadapi masalah berikutnya, yaitu peningkatan rasio jumlah penduduk lanjut usia yang akan menjadi beban dan tidak diantisipasi dengan baik.
Sementara untuk bonus demografi kedua, sifatnya tetap. Artinya, bila penduduk usia produktif sadar sejak awal dan berusaha menyiapkan diri sebaik mungkin pada masa produktifnya. Misalnya, mereka menyiapkan investasi untuk pensiun, dan melakukan akumulasi aset maupun tabungan, maka kehidupan yang lebih baik ada di hadapan mereka. Artinya kendati usia lanjut digolongkan pada usia nonproduktif, namun persiapan finansial membuat mereka tidak bergantung sepenuhnya pada usia produktif.
Keduanya membutuhkan persiapan dan kerja nyata. Siapkah kita?
(Disadur dari Buku ”Siapa Mau Bonus? Peluang Demografi Indonesia” terbitan Kemenkominfo)
Sumber : disini - Gambar/Foto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
"Silahkan beri komentar Anda di artikel ini, berkomentarlah yang sopan dan sesuai isi artikel"